(Foto: Lpm Bhanu Tirta)
Persma Bhanu Tirta – Aktivis Demokrasi Blitar sukses menggelar diskusi publik dengan tema "Quo Vadis Kebebasan Berekspresi? Membongkar Kemunduran Demokrasi dan Pemburuan Aktivis" Bertempat di Aula Lantai 3 Kampus 1 Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar. Kamis, 4/12/2025.
Pemantik diskusi pada kali ini adalah Supriarno (Dosen UNU Blitar), Dipang Tri Yoga (Sekitar Institut), dan Reyda Hafis (Mahasiswa UNU Blitar), suasana semakin hangat dengan dimoderatori oleh Ziya, mahasiswi UNU Blitar. Diskusi diikuti oleh berbagai organisasi, lembaga dan komunitas yang ada di Blitar Raya.
Forum kali ini membahas perihal penangkapan aktivis pada aksi bulan Agustus lalu. Awalnya aksi dipicu oleh masyarakat pati yang menggelar demontrasi penurunan Bupati Sudewo. Kemarahan masyarakat memuncak ketika tindakan DPR RI, Eko Patrio dan Uya Kuya berjoget di ruang rapat ketika membahas terkait kenaikan tunjangan anggota dewan.
"Isu Agustus kemarin dipicu oleh masyarakat pati yang menuntut turunnya Bupati, kemarahan masyarakat memuncak ketika perilaku DPR RI yang berjoget diruang rapat, kemudian dilindasnya kawan kita Affan oleh aparat ketika demo menjadi puncak kemarahan kawan-kawan aktivis yang kemudian turun ke jalan" Ucap Dipang.
Dipang menambahkan, ada 1.000 lebih aktivis yang ditangkap di Jakarta, sedangkan di Kediri ada kurang lebih 80 aktivis yang di tangkap. Ada beberapa aktivis yang hingga sekarang masih ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka secara mendadak, misalnya Saiful Amin dan Selvin Bima yang menjadi orator pada aksi demo di Kediri Agustus lalu.
"Di Jakarta sendiri ada 1.000 lebih aktivis ditangkap dan di Kediri ada kurang lebih 80 kawan yang ditangkap, hingga sekarang Sam Oemar dan Bima masih ditahan", Ujar Pria asal Kediri tersebut.
Banyak kejanggalan yang ditemukan ketika penetapan tersangka kepada para aktivis. Rata-rata para aktivis ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu yang kemudian di jerat pasal karet, yaitu pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindakan penghasutan.
Padahal tentang penetapan tersangka sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 yang menetapkan minimal dua alat bukti sah. Sedangkan Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Penangkapan oleh aparat kepada para aktivis merupakan bentuk pembungkaman dan Kesewenang-wenangan.
"Ada kedangkalan berpikir Aparat Penegak Hukum (APH) kita dalam menggunakan wewenang, mereka menggunakan wewenang demi kepentingan politis. Kawan kita yang ditangkap sekarang merupakan bentuk ketidakbecusan APH dalam menggunakan wewenang", Tegas Mahasiswa Hukum tersebut.
Supriarno, Dosen sekaligus Founder Pusat Studi Hukum dan Keadilan UNU Blitar menjelaskan bahwa, pemerintah gagal memahami makna dari demokrasi. Ketidakbecusan pemerintah dalam menjalankan amanat negara menjadi akar permasalahan yang ada, yang dimana kedaulatan tertinggi seharusnya berada ditangan rakyat.
"Institusi negara dalam hal ini wacana penangkapan aktivis, polisi belum paham apa itu demokrasi, maka jangan berhenti memperjuangkan kemerdekaan", Ujar Supriarno.
Di akhir sesi, dosen yang akrab dipanggil pak Priarno itu menegaskan bahwa negara ini bukan negara hukum, melainkan negara undang-undang dan negara komando. Hal tersebut menjadi refleksi, apakah kita sudah terlalu jauh dari cita-cita awal bangsa ini dibentuk.
Penulis : Fufut Shokhibul
Editor: Nanda Sania
