Persma Bhanu Tirta - Dalam hidup, manusia pasti membutuhkan teman untuk menguatkan saat sedang terpuruk, membantu berdiri saat terjatuh, dan memberikan support dalam segala hal yang di hadapi.
Mungkin satu sosok saja sudah cukup. Bisa berasal dari teman, keluarga, maupun pendamping hidup. Seseorang yang mampu menjadi penguat dalam mengarungi lika-liku alur kehidupan. Bersamanya terasa nyaman bercerita ribuan masalah sekalipun, apapun kesulitan yang tengah terjadi sosok ini akan selalu ada, selalu mengingat kita dalam kesahnya. Itulah yang disebut sebagai sahabat sejati.
Ini adalah kisah dari sepasang sahabat yang selalu bersama dalam menjalani keseharian di masa-masa SMA. Tinggal dalam satu kos-kosan yang sama di dekat sekolah membuat mereka saling mengenal satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka kian erat hingga seakan-akan tak akan ada seorangpun yang mampu memisahkan.
Di suatu pagi, sinar mentari menyapa lembut wajah putih mulus gadis yang lahir 17 tahun lalu itu. Ia masih tidur pulas dengan selimut yang berantakan di kamar yang selalu menjadi tempatnya untuk menghilangkan penat.
“Hei, bangun!” Udah pagi.”
“Heii…, wooi…!”
Teriakan yang mengusik mimpi indah Sona, ia mengusap malas wajahnya dengan mata yang masih terpejam dan menguap. Ternyata teriakan tadi tak mampu membangunkannya dan malah melanjutkan mimipi yang terjeda.
Sepuluh menit berlalu…
“Hujan…! Aaa bocor…bocor… Alifaa, atapnya bocor, ember mana ember?”
Dengan mata yang masih terpejam Sona berteriak tak jelas dan terjingkat dari kasurnya setelah merasakan wajahnya basah seperti baru saja diguyur hujan.
“Bangun heh, bangun... buka mata kamu! Jangan mengigau, cepat sekolah! sudah siang, lihat tuh udah jam berapa!” ucap Alifa sewot.
Sona seketika terkejut terbangun dengan suasana bingung seperti orang linglung. Ia melihat Alifa menahan tawa berdiri di sampingnya sambil memegang gayung berisi air yang tinggal setengah.
“Astaga, udah jam 07.45! Telat banget nih, kenapa nggak dibangunin dari tadi sih, Faa? Duuh…” gerutunya sambil mencari handuk yang terpampang jelas di dekat pintu. Dengan rambut yang masih acak-acakan, Sona berlari mengambil seragam yang yang memang tak ada di lemari. Saking paniknya, ia menabrak meja belajar di kamarnya hingga membuatnya mengaduh kesakitan. Sambil menahan rasa sakit akibat benturan tadi, Sona berlari menuju kamar mandi dengan tertatih.
Sepuluh menit kemudian, Sona keluar kos-kosan mengenakan seragam lengkap dengan tas ransel merah tua miliknya. Di dapatinya Alifa tengah duduk menunggunya di teras dengan raut muka sumringah tanpa rasa bersalah. Mereka kemudian berangkat ke sekolah besama-sama.
Langkah kaki Sona baru saja memasuki kelas, tiba-tiba bel berbunyi, disusul Alifa di belakangnya. “Untung kita gak telat.” tukas Alifa.
Dengan ekspresi agak sebal, Sona berusaha meredam emosi dan langsung duduk di samping Ava, si gendut yang imut.
“Pagi, Sona.” Sapa Ava dengan senyum ramah.
“Hai, Sona.” Sahut Erika, siswi yang duduk bangku belakang Sona. Si super tinggi dan kurus.
“Pagi teman-teman.” Balas Sona dengan sesimpul senyum merekah seperti tanpa masalah.
Sona meletakan tas warna merah tuanya di kursi lalu duduk membelakanginya. Jari-jarinya sibuk memainkan pensil yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya. Itulah kebiasaan sona, gemar memainkan pensil atau pena kemanapun ia pergi.
“Kring! kringg!”
Bel sekolah berbunyi dua kali menandakan waktu istirahat telah tiba. Semua siswa menuju keluar kelas untuk mengistirahatkan pikiran usai pelajaran. Ada yang pergi ke kantin, ada yang bermain basket, ada yang baca buku di perpustakaan, dan masih banyak aktivitas yang dilakukan oleh para siswa saat jam istirahat berlangsung. Tak terkecuali Sona. Ia juga keluar kelas.Tapi anehnya ia membawa tasnya keluar.
“Loh mau kemana Na?” tanya dua teman sekelasnya yang masih berada di kelas.
“Mau mengembalikan buku di perpustakaan.” Jawab Sona sembari tersennyum tipis.
Teman-temannya pun mengiyakan tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Tak perlu membutuhkan waktu lama Sona meminta tolong ojek untuk mengantarkannya ke sebuah yang sangat indah dengan pemandangan alam yang begitu menawan. Entah bagaimana bisa Sona menemukan jalan rahasia keluar sekolah tanpa ketahuan siapapun. Yang jelas kini ia sendiri di sebuah desa yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Berkelana menjauh dari pusat kota berharap menemukan banyak kedamaian di dalam sebuah desa.
Saat sedang asik berjalan menyusuri indahnya pemandangan pedesaan tiba-tiba ia di hadang oleh tiga lelaki dewasa, bertato, dan berlagak layaknya preman. Sona ketakutan dan berusaha menjauh dan tanpa berpikir panjang, ia berlari sekencang-kencangnya. Ketiga lelaki itupun mengejar Sona.
Tampak dari kejauhan malah lebih seram lagi, ada bapak-bapak berbadan kekar membawa celurit yang di acungkan kearah Sona. Sontak Sona berhenti dan berdoa dengan perasaan cemas dalam hati karena di hadapkan dengan ketakutan tanpa ujung.
“Hoii!” pria bercelurit berteriak dengan lantang.
Ketiga lelaki tersebut lari ketakutan setelah melihat pria yang mengacungkan celurit. Sona hanya bisa diam di tempat tanpa bergerak sedikitpun saking takutnya dengan celurit yang di bawa pria itu.
“Sini Nak, jangan takut, ada aku di sini. Preman-preman tadi sudah pasti kalah denganku. Makanya mereka lari. Ikutlah pulang kerumahku, kau sudah di tunggu Alifa dirumah” Ucap seseorang yang membawa celurit tadi.
“Hehehe, iya… Pak.” Jawab Sona sambil mengangguk merasa lega setelah apa yang terjadi padanya di hari itu.
Sona pun ikut pulang kerumah Pak Dalhar yang ternyata adalah pamannya Alifa. Alifa sengaja menghubungi pamannya itu untuk mencari tahu keberdaan Sona. Pak Dalhar adalah mantan preman yang telah taubat. Bukan hal yang sulit baginya untuk memantau seluruh aspek yang berada di dalam kecamatannya walau tersembunyi di pelosok desa sekalipun.
“Jangan ulangi lagi yaa, aku tahu kau punya banyak sekali permasalahan yang cukup memberatkan isi kepala. Tapi aku mohon, jangan seperti ini lagi….” Alifa berusaha menenangkan Sona dengan pelukan.
“Iya, maaf, dan terima kasih banyak, Fa.” Jawab Sona sambil meneteskan air mata dipelukan Alifa.
Mereka akhirnya kembali ke kos-kosan dan bersama-sama berusaha keras untuk menempuh studi demi tercapai apa yang telah diharapkan.
Author : Umi Kholifatin
Editor : M. Khamdan Yuwafi