Cerpen, Kesendirian Dalam Kehidupan Part 2 - LPM BHANU TIRTA

Friday, 3 March 2023

Cerpen, Kesendirian Dalam Kehidupan Part 2



Oleh : Muhain D Owl

Editor : M. Khamdan Yuwafi


“Huh, dimana aku? Sepertinya tempat ini.....”

Biji membuka matanya dengan perlahan nampak cahaya matahari menyinarinya, disini suasananya berbeda dari yang pernah biji alami, seperti agak lembab. Tumpukan daun-daun menjadi tempat biji berdiri saat ini, akan tetapi biji belum tersadar sepenuhnya, sedikit pusing dan rasa shock masih menyelimuti sebagian dari pikirannya. “Apakah aku terjatuh?” matanya terbelalak terkejut, biji tidak mengira bahwa hal ini akan terjadi padanya, mustahil.

“Tidak mungkin!! Tidak mungkin aku terjatuh, ini pasti hanya mimpi. Mustahil!!”

`Biji tidak mau mempercayai keadaaanya sekarang, itu membuat shocknya bertambah parah dan kesadarannya mulai memudar. Dunia seakan mulai gelap, cahaya yang datang seakan mulai pergi menjauhinya, secercah cahaya harapan tepat berada di depannya. Biji mulai memikirkan apa kesalahannya sampai-sampai dia jatuh, biji mengingat sesuatu, satu kalimat yang sangat berarti, memiliki makna yang menggambarkan dia sekarang.

“Oh ya, sekarang aku mengingatnya, sungguh kata kata yang sangat bagus?” senyuman tidak puasan menyertainya.

***

Baca juga : Cerpen, Bukan Cerita Malam Jum'at

Dunia yang berkabut membuat sunyi pagi ini, nampak hanya sedikit hewan yang memulai aktifitasnya. Sepertinya hawa dingin membuat banyak hewan masih tidur disarang mereka masing-masing. Titik-titik air terkumpul mengalir ke arah pucuk sebuah ranting kayu, terkumpul menjadi bulatan yang terlihat sangat jernih, disana tergambar bagaimana suasana pagi yang berkabut ini, hanya terlihat samar-samar putih dan sebagian kecil hewan.

Bulatan air itu sudah tidak dapat menampungnya lebih banyak air lagi, sudah tidak muat untuk lebih banyak air yang akan datang, beban yang begitu berat telah tersampaikan, waktunya untuk terjun bebas kebawah, berkunjung ke tanah kering yang sudah menunggu kehadirannya. Namun karena suatu hal yang belum pasti, air itu tidak sampai ketanah melainkan jatuh tepat di tubuh biji. Hukum alam telah mengajak sebuah biji untuk memulai kehidupan yang keras, tanpa ada yang menemaninya.

“Hah,” tetesan air itu membangunkan biji, kesadarannya mulai mengatur bagian bagian dari tubuhnya, namun  tidak cukup air setetes untuk memulihkan kesadaran biji. Tetesan air kedua datang namun itu juga tidak dapat membuat hasil yang lebih baik, Biji kembali ke alam tidurnya. Dan ini yang ketiga, sebuah tetesan asir yang berbentuk sempurna layaknya biji itu sendiri, tepat mengenainya, seketika itu biji tersadar. Mata yang terbuka lebar, melihat pagi yang ber embun tebal, dunia terlihat usang, tidak ada cahaya matahari pagi yang sampai ke daratan.

Dari timur cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya, kuning kemerahan menandakan pagi datang menggantikan malam yang gelap. Cahaya itu datang menghampiri biji, membuat biji semakin sadar bahwa dia terjatuh adalah sebuah kenyataan. Biji menatap arah datangnya sinar mentari pagi, sebuah pagi yang cerah. Biji berharap dengan pagi yang cerah ini kehidupan nantinya pasti akan baik-baik saja.

“Semoga aku tidak menemui hal-hal yang mengerikan.”

Biji merenungkan kejadian apa yang mungkin dia hadapi dibawah sini, ini adalah tempat pertama selama dia berada di atas sana, biji tidak mengeetahui apa-apa yang terjadi dibawahnya selama dia di atas. Biji berguman “Bukankah hal yang baru itu adalah sebuah kemajuan, lihatlah! Sekarang aku berada dibawah, dan lihat sekelilingku! Semuanya menjadi bangkai. Bagaimana aku bisa berpikir positif jika sekelilingku adalah bangkai yang pernah diatas sana?” Biji menatap langit,, dilihatnya sebuah pohon tanpa daun dan apapun itu hanya ranting kering dan burung-burung bertengger diatasnya.

Baca Juga : Cerpen, Kesendirian Dalam Kehidupan Part 1

Saat dia melihat keatas, nampak seekor hewan berjalan mendekatinya. Hewan itu memiliki banyak bulu, ekor yang tidak begitu panjang dan sayap, tapi hewan itu memilih berjalan daripada terbang. Suara gesekan antara kaki dan dedaunan membuat biji teralihan pendangannya, didengarlah suara itu dengan seksama. Suara itu semakin mendekat, biji mengarahkan pandangannya ke suara yang dia dengar. Nampak biji melihat sesuatu yang besar sedang mematuk-matuk tanah, nampaknya dia sedang mencari sarapan pagi.

“Apa itu, Sepertinya dia mengarah kesini,” Suara biji yang ketakutan membuat hewan besar itu melihat kesekitarnya. Nampak dia memakan sesuatu, bulat seperti biji. Ditelannya sesuatu yang dia dapatkan dari mematuk tanah, seperti bulat nan kecil, bentuknya hampir sama dengan biji. “Perasaan tadi aku berharap untuk tidak menemui hal-halmengerikan, tapi ini belum berganti hari lho, ya harapanku sia-sia,” menghela nafas.

Hewan itu mendekat, biji hanya terdiam seakan dia tidak bisa menghindari kejadian hari ini. Dia terjatuh, sendirian, harapan yang pergi entah kemana. Biji melihat dengan mata kepalanya sendiri seekor hewan berbulu yang sedang menatapnya dengan mata yang tajam, ayam jantan.

Baca Juga : Puisi, Logikaku Mengakui Kenyataan

Ayam :“Kelihatannya kamu sedang kesusahan?” tanya ayam itu.

Biji :“Ha... kau berbicara denganku?” biji tersadar bahwa ini bukan akhir dari kehidupannya.

Ayam :“Siapa lagi yang ada disini selain kau?” tanyanya untuk yang ke dua kali.

Biji :“Ohh, maaf-maaf. Seperti yang kau lihat, aku mengira kau akan memakanku, jadi aku hanya pasrah menanti ajalku.” Jawabnya dengan nada pasrah.

Ayam :“Tidak-tidak, aku tidak memakanmu, mana suka aku memakan biji tua sepertimu? Aku mencari telur-telur semut,  mereka sangat enak.”

Biji :”Kau tahu, aku itu biji, dulu aku diatas sana, dan banyak teman,temanku, sebagian dari mereka dimakan oleh sepertimu, tapi mereka terbang. Aku mengira kau juga sebagian dari mereka.” Wajahnya agak bersedih.

Ayam :”Aku tahu kok, aku dulu juga sepertimu. Kecil, tidak berdaya dan bahan belum bisa untuk mencari makan sendiri. Aku dan saudaraku yang lain saling berburu makanan, kelaparan menjadi hal biasa dalam kehidupanku, namun tidak menyurutkanku untuk terus melanjutkan perjalanan. Dan sampailah aku padamu, mungkin pertemuan ini memanglah ditakdirkan untuk kita. Jangan mudah menyera.”

Biji :”Tahu apa kau tentang kehidupanku!! kau bahkan tidak mengerti bagaimana teman-temanku dimangsa oleh hewan sepertimu!! Kau adalah makhluk besar mana mengerti kami yang kecil dan tidak bisa apa-apa, hanya pasrah yang aku dapatkan dikehidupanku ini.” wajahnya lesu.

Ayam :”Aku juga pernah mengalami hal seperti itu, memang menyedihkan, tapi jika aku tidak bisa melepaskan kesedihanku aku akan tertinggal dan mungkin saja aku yang akan dimangsa. Dalam kehidupan kau harus bisa bertahan dan berusaha berubah. Hidup ini cukup keras, mangsa atau pemangsa.”

Biji :”mana ada hewan yang memangsamu, kau ini cukup besar tidak mungkin ada yang memangsamu, kau jangan merendah untuk menghiburku. Aku tidak pecaya!!’

Ayam :”Itu terserah kamu, didunia ini diatas langit masih ada langit, sejauh kau memandang pasti ada yang lebih jauh dari pandanganmu. Dan ingat ini kau harus berubah dan jangan menyesal telah memiliki kehidupan.” Ayam pergi melanjutkan mencari makan.

”Mana ada hal seperti itu, diatas langit masih ada langit? Huh aku tidak mempercayainya,” Suara bergeming dari biji yang untungnya tidak didengar Ayam, mungkin Biji masih belum mengerti dunia luar, dimana seleksi alam dilakukan, yang kuat yang menang. Si penguasa adalah segalanya, siapa yang tidak path akan binasa.

Siang mulai meraba pagi yang cerah, terik panasnya sangat menyengat kulit, menghilangkan air dari embun pagi. Dibawah pohon tidak bedaun menjadi tempat meneduh bagi Biji, sungguh miris. Tempat berteduh yang seharusnya nyaman menjadi seperti latihan bertahan diri, sangat menyiksa. Tidak bisa melakukan sesuatu hanya berdiam menanti malam yang akan datang, walau masih panjang, atau awan yang menjadi payung berjalan.


Comments


EmoticonEmoticon