Memang Tak Mudah Kehilangan Orang Tersayang, Inilah Cerpen ‘Candu yang Hilang’ - LPM BHANU TIRTA

Friday, 24 February 2023

Memang Tak Mudah Kehilangan Orang Tersayang, Inilah Cerpen ‘Candu yang Hilang’


                Candu yang Hilang

               Karya: Umi Kholifatin

    Angin pagi menyelinap melewati jendela kamarku. Seberkas sinar mentari menghangatkan kakiku. Menandakan mentari telah memancarkan sinarnya.

    “Clara … bangun, Nak!”

    Sayup-sayup terdengar lewat telingaku suara Mamak. Aku pun bergegas mandi, ganti baju dan merapikan tempat tidur. 

    “Tolong belikan kerupuk di warung sebelah ini uangnya!” pinta Mamak.

    “Iya Mak,” jawabku. 

    Mamak membuka dompet kainnya yang kemudian diberikan kepadaku selembar uang. Mamak memang sering memintaku untuk membeli di warung sebelah hanya untuk membeli satu macam barang yaitu kerupuk seharga seribu. 

    Setelah pulang beli kerupuk aku langsung menuju meja makan karena sudah dinantikan keluarga. Ada lima orang dalam keluarga kami yaitu : Mamak, Bapak, Kak Desi, Kak Iwan, dan aku anak sebagai bungsu. 

    “Kerupuknya satu-satu, Nak. Sisa lima bisa buat nanti sore,” ujar  dari Bapak sambil mengambil satu kerupuk.

    “Iya, Pak.” Sontak kami bertiga menjawab dengan lantang karena memang perut sudah keroncongan. 

    Kami sebenarnya sudah hafal dengan kebiasaan makan keluarga kami. Orang tua kami selalu mengingatkan bahwa makanan sekecil apapun harus dibagi rata. 

    Kakak-kakakku selalu menerima dan melaksanakan apapun perintah Mamak dan Bapak, berbeda dengan aku yang selalu manja dan juga dimanjakan oleh orang tuaku. Saat aku kecil apapun permintaanku kepada orangtuaku pasti dikabulkan walau dengan susah payah dan hati gelisah. 

    “Clara....Clara...!!” Bilo berteriak memanggilku dari depan rumah.

    “Mak … Pak, Aku main dulu sudah ditunggu Bilo, Assalamu'alaikum.” Kukecup tangan mereka untuk pamit pergi bermain.

    “Wa'alaikum salam, iya Nak, hati-hati.” Orangtuaku membalas.

    Kemudian kami pergi ke basecamp bermain. Sebenarnya cukup sederhana dan juga ada modifikasi-modifikasi kecil wujud dari kreatifitas kami. Tempat bermain kami berada di sebuah kebun yang penuh dengan pepohonan rindang. 

    Banyak penduduk desa yang mengatakan bahwa  tempat angker namun, hal tersebut tidak pernah sedikitpun membuat kami takut. Tempat ini memang banyak di kunjungi anak-anak kecil.  Ada yang bergelantungan di daun kelapa, ada yang menganyam daun kelapa untuk ditiduri, ada juga yang memanjat pohon durian, serta pepohonan lain di sana. Setelah lelah bermain dan bersenang-senang kami langsung pulang. 

    Dari kejauhan kulihat bendera kematian terpasang di depan rumahku. Hampir seluruh warga desa datang ke rumah. Aku semakin bingung, kerabat-kerabat menangis dan memelukku. Begitu juga Kak Desi dan Kak Iwan, wajah mereka memerah serta menangis tersedu-sedu. 

    “Clara... Mamak dan Bapak meninggal...,” ucap kedua kakakku sambil tebata-bata.

    Aku terus menahan air mata dan hanya terdiam. Aku sudah pernah mengalaminya ketika kakek meninggal dunia. Jika kali ini menangis lagi itu hanya akan menambah kesedihan orang lain terutama saudara-saudaraku.

    Mengingat diriku adalah anak bungsu yang paling dimanja oleh kedua orangtuaku. Rasanya kasih sayang orang tuaku sudah melekat di hati dan menjadi candu yang sulit terhenti. Lalu tiba-tiba kasih sayang itu  pergi, hilang, ditelan bumi menyisakan waktu bagiku untuk merancang masa depan yang cemerlang tanpa mereka. 

    “Kau memang anak yang kuat,  orang tuamu sudah mendidikmu dengan pendidikan agama yang benar sejak kecil. Tuhan menakdirkanmu untuk melewati ini semua karena tahu bahwa kau bisa melewati semuanya. Kau tahu Nak, apapun rencana Tuhan pasti baik,” pcap Nenek menasehatiku di kamar tidurku.

    Akhirnya semua air mata yang telahku bendung mengalir. Kupeluk erat nenek dan membisikkan terima kasih di telinganya.***


Editor: Anisa Dewi



Comments


EmoticonEmoticon