Seperti Daun yang Jatuh
Oleh : Anisa Dewi
Editor : M. Khamdan Yuwafi
“Ada masanya aku akan seperti daun yang jatuh, tidak dilihat karena jatuh kebawah, hingga tergantikan dengan daun yang masih segar.”
Nindi gadis berusia tujuh belas tahun, yang sangat bersemangat sekolah dan menjalani kehidupannya dengan penuh canda tawa. Meskipun, kedua orang tuanya telah meninggalkannya sejak dia kecil. Dia tinggal bersama paman dan bibinya yang berada disebuah kota.
“Paman … Bibi …, Nindi berangkat ke sekolah dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam iya Nindi, hati-hati di jalan ya,” jawab Bibi.
Nindi yang selalu ceria dan bernyanyi disepanjang jalan saat menuju sekolah. Meskipun di rumah pamannya ada sepeda motor tetapi Nindi lebih memilih jalan kaki saat pergi ke sekolah. Tapi malangnya, dia jatuh disaat motor lewat.
Brukkkkk…
Beberapa orang yang berada disekitar segera menolong Nindi, dan membawanya ke Rumah Sakit. Salah satu tetangga Nindi yang mengetahui kejadian tersebut, segera memberi tau paman dan bibi Nindi. Karena kejadian kecelakaan yang menimpa Nindi, kaki sebelah kanan Nindi yang tidak sengaja terlindas oleh ban motor, harus diamputasi demi kebaikan Nindi.
*****
Semenjak kejadian musibah yang menimpa Nindi, dia menjadi pribadi yang pendiam dan pemurung. Satu bulan masa pemulihannya dihabiskan dengan mengurung diri di kamar. Paman dan bibinya sudah berusaha menenangkannya, tapi Nindi masih saja terus bersedih. Siang harinya wali kelas dan beberapa sahabat Nindi menjenguknya di rumah. Selama satu bulan ini, Nindi tidak mau bertemu dengan mereka. Meski begitu, mereka tetap saja berkunjung ke rumah Nindi.
“Nin, bagaimana kabarmu? Aku rindu makan mie ayam di kantin bareng kamu,” ucap Putri, sahabat Nindi.
“Alhamdulilah, baik.”
Mereka terus mengajak Nindi mengobrol, tetapi Nindi hanya menjawabnya dengan singkat. Mereka memaklumi jika Nindi masih belum bisa menerima musibah yang telah menimpanya.
“Nindi, kapan Nindi masuk sekolah lagi, Nak?” tanya Bu Karin, wali kelas Nindi.
Nindi hanya terdiam dan menatap Bu Karin sejenak. Lalu, Bu Karin bertanya kembali kepada Nindi, penuh dengan hati-hati, takut jika Nindi tersakiti oleh pertanyaannya.
“Apa Nindi tidak kangen sekolah? Kangen belajar bareng teman-teman? Dan basket?”
Seketika mata Nindi berkaca-kaca mendengar basket. Selama ini Nindi merupakan atlet basket yang terbaik di sekolahnya, karena sejak dia dibangku sekolah dasar sudah mengasah kemampuannya dalam dunia basket. Jadi saat Nindi berada di bangku SMP dan SMA, Nindi sering kali mendapatkan kejuaraan.
“Iya Nin, kapan kamu ke sekolah? Aku kangen liat kamu main bas …” celetuk Laila.
Wali kelas dan beberapa sahabatnya melotot ke arah Laila. Karena Laila merupakan gadis yang sering keceplosan, Laila merasa bersalah mengatakan hal tersebut yang membuat Nindi menangis. Karena semuanya sudah pasti tau, musibah yang menimpa Nindi, akan membuatnya tidak bisa bermain basket lagi.
“Udah jangan nangis Nin, kamu tau kan Laila suka gitu keblablasan,” ucap Putri.
“Iya Nin, jangan dibuat sedih ya ucapan si Laila,” sahut Ajeng.
“Duh, aku minta maaf banget ya Nin, aku gak bermaksud membuat kamu bersedih seperti ini,” sahut Laila, penuh dengan rasa bersalah.
Nindi berusaha tegar, dia tidak ingin terlihat terlalu bersedih dihadapan wali kelas ataupun sahabatnya. Mereka semua berusaha membujuk Nindi untuk mau berangkat ke sekolah lagi. Nindi juga tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak ajakan mereka semua. Nindi juga merasa jenuh di rumah terus menerus selama satu bulan ini.
*****
Pagi hari ini, dengan memakai kursi roda Nindi diantarkan bibi untuk pergi ke sekolah. Semua satu kelas begitu senang melihat Nindi, mereka menyambutnya dengan baik. Serta memberikan bunga dan tulisan-tulisan motivasi yang membuat Nindi tersenyum senang.
“Aku seneng banget bisa ketemu lagi sama kalian,” ucap Nindi penuh gembira.
“Kita juga seneng, Nin,” jawab sahabat-sahabat Nindi.
Jam istirahat tiba, semuanya mengajak Nindi pergi ke kantin. Sebenarnya Nindi menolak, dia masih belum siap bertemu banyak orang yang ada di kantin. Tetapi, teman-temannya terus memaksa dia untuk pergi ke kantin. Dan Nindi mengiyakan ajakan mereka dengan anggukan. Saat perjalanan menuju kantin, tak sengaja Nindi berpapasan dengan pelatih basketnya di sekolah. Pelatihnya mengajaknya mengobrol empat mata saja, sahabat-sahabatnya meninggalkan Nindi ke kantin terlebih dahulu.
“Hai Nin, lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?”
“Alhamdulilah kabar saya baik, Pak.”
“Saya juga sangat sedih, ketika saya mendengar kabar jika kamu mengalami kecelakaan itu. Tetapi, mau berbuat apalagi? Mungkin itulah yang namanya takdir, Nin. Kamu tidak perlu berkecil hati ataupun bersedih dengan keadaanmu yang sekarang memakai kursi roda. Mungkin Tuhan mempunyai rencana yang terbaik untukmu, Nin. Saya tau kamu seorang gadis yang kuat, dan saya yakin kamu akan sabar dan tegar menjalani kerasnya kehidupan ini,” Pak Hasan menatap Nindi, hingga mata Nindi berkaca-kaca.
“Iya Pak, terima kasih doanya. Insyallah pelan-pelan saya akan menerima keadaan baru saya ini.”
“Iya Nin, sama-sama. Oh iya, saya juga mau bilang sesuatu.”
“Iya Pak? Ada apa?”
“Saya tau kamu merupakan atlet basket yang handal dan profesional. Dan bahkan, kamu sudah banyak sekali memberikan prestasi bidang basket pada sekolah ini. Juga kamu adalah kapten tim basket di sekolah ini.”
“Iya Pak, lalu?” Nindi masih bingung dengan ucapan Pak Hasan.
“Maaf ya Nindi, Bapak harus mengatakan ini. Keadaan kamu kan sekarang memakai kursi roda dan tidak memungkin untuk kamu bermain basket lagi seperti dulu. Apalagi menjadi kapten tim basket sekolah ini. Bapak tau, perjuangan dan pengorbanan kamu selama ini sangat besar hingga bisa meraih kejuaraan untuk sekolah ini dalam bidang basket. Tapi walau bagaimana pun, anggota tim basket memerlukan kapten yang baru untuk memimpin tim basket kedepannya.”
Nindi tak mampu menjawab ucapan dari Pak Hasan, yang membuatnya sangat terpukul. Nindi segera berpamitan untuk pergi meninggalkan Pak Hasan. Dan mendorong kursi rodanya sendiri, Nindi tak kuasa menahan tangisnya, dia menuju ke lapangan basket dan berteriak sekencang-kencangnya. Hal itu membuat Nindi terjatuh dari kursi roda, beberapa teman sekolahnya yang melihat hal tersebut langsung membantu Nindi berdiri. Sahabatnya yang melihat kejadian tersebut langsung membawa Nindi ke UKS. Setelah Nindi baik-baik saja, dia mulai menceritakan hal yang membuat dirinya bersedih.
“Udah Nin, jangan sedih kayak gini. Kamu yakin aja, dibalik musibah ini pasti ada rencana terbaik dari Tuhan untuk kamu. Dan walau bagaimana pun keadaan kamu, kami tetap sahabat kamu. Sampai nanti yaa, kamu harus tetap semangat!” ucap Laila.
“Hehe iya, makasih ya, temen-temen.”
“Tumben, bijak banget Laila hari ini, pasti abis makan bakso jadi bijak gitu,” ledek Putri.
“Idih, ngledek ya lo Put!!!”
Mereka bersama tertawa dengan candaan itu.
*****
“Rasanya kecewa ketika tergantikan oleh orang lain, yang lebih mampu. Rasanya seperti daun yang jatuh dan tak berguna lagi.”
Nindi tak lagi bisa meneruskan cita-citanya menjadi pemain basket. Dan karena Nindi selama ini mempunyai peran yang sangat besar disekolah. Nindi dihadiahkan laptop oleh sekolah karena selama ini telah berhasil memenangkan kejuaraan lomba basket dan mengharumkan nama sekolah.
“Tuh kan Nin, ada aja kan hikmahnya dari kejadian yang kamu alami. Yang penting kamu tetap sabar dan semangat, pasti Tuhan akan membantu disetiap langkah kamu,” ucap Ajeng.
“Hehe iya, makasih ya sahabat aku yang baik. Kalian selalu support aku entah aku lagi seneng atau susah.”
“Iya sama-sama, Nin.”
Meskipun Nindi telah diberikan laptop oleh sekolah, dia masih bingung apa yang akan dia lakukan agar terasa menyenangkan menggunakan laptop. Karena selama ini, dia terbiasa dengan latihan basket dan basket saja.
Nindi membuka microsoft word dan menuliskan kekesalan dan kekecewaannya terhadap kehidupannya yang baru. Lama kelamaan dia merasa senang dengan menulis dilaptop barunya ini. Dan Nindi mulai sering mengunjungi perpustakaan sekolah untuk membaca buku fiksi ataupun nonfiksi, demi riset tulisannya.
“Sejak kapan kamu suka baca novel kayak gitu, Nin?” tanya Putri.
“Sejak aku punya laptop hehehe.”
Sahabat-sahabat Nindi sangat mendukung Nindi mempunyai hobi baru yaitu: membaca dan menulis. Meskipun Nindi masih tergolong baru dalam dunia menulis, dia terus belajar dan mengasah kemampuannya dalam bidang menulis. Dia sering mengikuti seminar, workshop, dan pelatihan menulis. Hingga Nindi sekarang sangat mencintai hobi barunya dan tidak memikirkan tentang keadaannya yang memakai kursi roda.
“Alhamdulilah, kamu sekarang jauh lebih baik menerima keadaan kamu Nindi,” ucap Paman.
“Iya Paman, Nindi sangat bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada Nindi saat ini. Nindi tau mengeluh dan bersedih terus menerus tidak akan menghasilkan apa-apa, Nindi berusaha mencari aktivitas baru yang bermanfaat. Semoga Nindi berhasil ya.”
“Amin yarobbalamin,” sahut Bibi.
*****
Kemampuan menulis tidak bisa diasah hanya dengan jangka waktu satu atau dua bulan saja. Hampir tiga tahun Nindi berusaha menekuni dunia kepenulisan hingga sampai pada akhirnya Nindi menjadi seorang penulis disebuah penerbit mayor yang ada di Indonesia. Tak hanya itu, dia juga sering kali diundang sebagai pemateri di seminar, workshop ataupun pelatihan dalam bidang menulis.
Kini, kesibukan Nindi selain menjadi seorang penulis dia juga menjadi seorang editor di sebuah penerbit besar. Hingga Nindi bisa membiaya kuliahnya sendiri, tanpa merepotkan paman dan bibinya.
“Masyaallah Nindi, kamu sekarang sudah sukses. Sekarang kamu bisa membiayai biaya kuliahmu sendiri dan menghidupi keluarga ini,” ucap paman penuh gembira.
“Alhamdulilah Paman, Nindi sangat bersyukur dengan hal ini.”
“Mungkin ini rencana terbaik dari Tuhan Nin, selagi kita mau bersyukur dan berpikir positif. Serta berusaha dan berdoa, insyallah Allah akan membantu hambanya yang taat di jalan-Nya,” sahut Bibi.
“Iya Bibi, benar.”
TAMAT
Semangat buat Mbak Anisa, sukses selalu ,,,,💫