LPM BHANU TIRTA - Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita tak akan lepas
dari yang namanya agama. Di dunia ini tentu banyak sekali agama-agama yang
telah tersebar diseluruh penjuru bumi serta macam-macam bentuknya. Tiap-tiap
agama pasti punya dasar mereka sendiri dalam melakukan peribadatan. Tetapi
disini saya tidak akan membahas tentang agama, lebih tepatnya tentang
pruralisme, Pluralisme agama menurut Coward (1989: 168-169) muncul dari
kesadaran bahwa realitas kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari
keberagaman, termasuk keberagaman agama. Pluralisme agama dapat menjadi sarana
untuk memahami bahwa ada Satu Realitas yang dipahami lewat banyak cara. Hal ini
didasarkan pada semangat yang diusung oleh pluralisme agama demi mencapai
kedamaian dan kebersamaan di tengah keberagaman
Pluralisme agama di Indonesia juga dipahami dan
ditanggapi secara beragam, selayaknya keberagaman agama. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sebagai salah satu organisasi atas nama agama mayoritas di
Indonesia pun memunculkan tanggapan atas pluralisme agama. MUI mengeluarkan
fatwa haram terhadap pluralisme, di samping sekularisme dan liberalisme. Hal
ini malah menjadi salah satu pemantik konflik baru. Kemunculan fatwa ini
menyebabkan kesimpangsiuran pemahaman dan perbedaan sikap yang muncul di
kalangan masyarakat. Kemunculan berbagai pemahaman dan tafsir atas pluralisme
tidak menutup kemungkinan menjadi sumber konflik yang baru. Keberagaman tafsir
pluralisme ini dengan mudah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, sebab makna
pluralisme yang hendaknya disampaikan kepada masyarakat tidak disampaikan
dengan lengkap atau bahkan salah. Hal ini juga memicu munculnya tafsir negatif
yang disematkan pada pluralisme agama. Pluralisme agama dicurigai sebagai istilah
“Barat” yang membawa misi menggeser fungsi agama atau bahkan menjadi agama baru
bagi manusia.
Filsafat
Agama dan Pluralisme Agama
Filsafat agama
adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang mengupas agama tertentu secara
rasional, logis, kritis dan mendalam. John Hick (1990: 1) merumuskan secara
singkat bahwa filsafat agama adalah philosophical thinking about religion.
Agama tidak dipahami secara dogmatis akan tetapi dipahami lebih lanjut,
sehingga keyakinan agama berdasarkan pada pemahaman secara rasional
Perkembangan pola kehidupan juga mempengaruhi pemaknaan
atas filsafat agama. Pemaknaan filsafat agama dalam paradigma kontemporer lebih
condong ke arah fungsional agama. Agama tidak lagi digali makna definitifnya,
akan tetapi lebih menekankan pada tinjauan secara kritis untuk menghadapi
dinamika kehidupan. Filsafat agama diharapkan “membumi”, menjadi jalan untuk
mencari solusi-solusi permasalahan praktis di masyarakat. Hal ini berbeda
dengan “masa kegelapan” atau the dark age, filsafat dan agama yang saling
mencari perhatian, dengan memonopoli pengaruh di tengah kehidupan. Saat ini
agama diharapkan mampu menjadi jembatan kegelisahan menghadapi perkembangan dan
perubahan kehidupan, bukan malah menjadi jurang pemisah
Keberagaman agama menjadi salah satu problem yang coba
dipecahkan oleh filsafat agama. Keberagaman agama tidak menjadi problem yang
serius apabila tidak ada klaim kebenaran dan sumber keselamatan yang diusung
oleh masing-masing agama secara dogmatis. Hal ini membuat setiap perdebatan posisi
keyakinan agama semakin menarik, apakah agama harus diyakini secara dogmatis
atau apakah memungkinkan adanya tafsir baru yang memposisikan seluruh agama
adalah sama. Banyak pemikir yang berusaha untuk merumuskan sikap yang tepat
dalam menghadapi keberagaman agama
Terdapat tiga kategori yang menjadi buah dari
persinggungan atau pemaknaan keberagaman agama, yaitu eksklusifisme,
inklusifisme, dan pluralisme. Tiga tipe tersebut menjadi dasar pola pikir
seorang pemeluk agama tertentu dalam upaya memposisikan diri atau melihat
pemeluk agama lain
Eksklusifisme memahami bahwa hanya agama yang
dipeluknyalah yang paling benar dan menjadi satu-satunya sumber keselamatan.
Eksklusifisme tidak menerima adanya kebenaran dalam ajaran agama yang lain.
Pemahaman agama berdasarkan eksklusifisme ekstrim memungkinkan pemeluk agama
tertentu melihat pemeluk agama lain sebagai “liyan yang tersesat”. Para
eksklusifis ekstrim tidak sungkan untuk mengajak para liyan untuk “berjalan”
pada kebenaran yang mereka yakini, bahkan jika perlu menggunakan cara-cara
tertentu agar tersadar. Eksklusifis cenderung menutup kesempatan bagi
sumber-sumber yang memungkinkan memberikan pemahaman bahwa keberagaman adalah
hal yang niscaya. Satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran dan kebaikan bersama
adalah dengan cara memeluk satu agama yang sama. Eksklusifisme juga sering
disebut dengan istilah konservatisme.
Berbeda dengan eksklusifisme yang berdasarkan pada
pemahaman dogmatis kaku, inklusif mencoba hadir dengan lebih lunak.
Inklusifisme adalah pola pikir yang menekankan bahwa agama yang lain merupakan
bentuk berbeda dari agama tertentu, yang memuat kebenaran serta bentuk
keselamatan yang berbeda. Namun perlu dicermati, bahwa inklusifis tetap
memposisikan agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar. Kebenaran
yang hakiki adalah kebenaran yang diajarkan dalam agama yang dianutnya,
walaupun termuat dalam bentuk lain agama tertentu
Di samping eksklusifisme dan inklusifisme terdapat
pluralisme yang menengahi dua sudut pandang sebelumnya. Pluralisme memandang
setiap agama memuat bentuk kebenaran dan ajarannya masing-masing. Pluralisme
menolak klaim kebenaran yang dimonopoli oleh satu agama tertentu. Bagi
pluralis, agama adalah sarana manusia sampai pada kebenaran universal yang
termuat dalam berbagai bentuk yang berbeda
Pluralisme agama berangkat dari pluralitas yang
menyebabkan persinggungan agama-agama. Pluralisme agama menuntut mutual respect
dengan tujuan cita-cita kedamaian dapat tercapai. Mutual respect ini merupakan
unsur-unsur yang harus dipenuhi, yakni terdiri atas toleransi, tenggang rasa,
lapang dada, dan peran aktif untuk menciptakan situasi kondusif.
Dalam hal diatas mungkin semua sudah dijelaskan
bahwasanya pruralisme merupakan sikap saling menghargai dengan orang lain yang
berbeda kepercayaan. Namun bagi saya pruralisme tidak cukup disana saja, tetapi
pruralisme terhadap sesama beragama harusnya juga diterapkan, karena saya
pernah melihat, ada seseorang yang mengakui dirinya seorang pruralis sejati
bahkan ikut komunitas pruralisme. Namun dilain sisi ia sangat membenci
seseorang yang mengikuti organisasi yang tidak sehaluan dengan organisasi yang
ia ikuti, padahal sesama organisasi yang seagama. Hal inilah yang membuat saya
berpendapat bahwasanya pruralisme tidak hanya untuk yang berbeda agama, akan
tetapi yang sesame agama juga.
Sumber :
Saraswati, Destriana.
"Pluralisme Agama Menurut Karen Armstrong." Jurnal Filsafat 23.3
(2013): 186-198.