PLURALISME - LPM BHANU TIRTA

Monday, 3 January 2022

PLURALISME



           LPM BHANU TIRTA - Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita tak akan lepas dari yang namanya agama. Di dunia ini tentu banyak sekali agama-agama yang telah tersebar diseluruh penjuru bumi serta macam-macam bentuknya. Tiap-tiap agama pasti punya dasar mereka sendiri dalam melakukan peribadatan. Tetapi disini saya tidak akan membahas tentang agama, lebih tepatnya tentang pruralisme, Pluralisme agama menurut Coward (1989: 168-169) muncul dari kesadaran bahwa realitas kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari keberagaman, termasuk keberagaman agama. Pluralisme agama dapat menjadi sarana untuk memahami bahwa ada Satu Realitas yang dipahami lewat banyak cara. Hal ini didasarkan pada semangat yang diusung oleh pluralisme agama demi mencapai kedamaian dan kebersamaan di tengah keberagaman

            Pluralisme agama di Indonesia juga dipahami dan ditanggapi secara beragam, selayaknya keberagaman agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu organisasi atas nama agama mayoritas di Indonesia pun memunculkan tanggapan atas pluralisme agama. MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme, di samping sekularisme dan liberalisme. Hal ini malah menjadi salah satu pemantik konflik baru. Kemunculan fatwa ini menyebabkan kesimpangsiuran pemahaman dan perbedaan sikap yang muncul di kalangan masyarakat. Kemunculan berbagai pemahaman dan tafsir atas pluralisme tidak menutup kemungkinan menjadi sumber konflik yang baru. Keberagaman tafsir pluralisme ini dengan mudah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, sebab makna pluralisme yang hendaknya disampaikan kepada masyarakat tidak disampaikan dengan lengkap atau bahkan salah. Hal ini juga memicu munculnya tafsir negatif yang disematkan pada pluralisme agama. Pluralisme agama dicurigai sebagai istilah “Barat” yang membawa misi menggeser fungsi agama atau bahkan menjadi agama baru bagi manusia.

Filsafat Agama dan Pluralisme Agama

            Filsafat agama adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang mengupas agama tertentu secara rasional, logis, kritis dan mendalam. John Hick (1990: 1) merumuskan secara singkat bahwa filsafat agama adalah philosophical thinking about religion. Agama tidak dipahami secara dogmatis akan tetapi dipahami lebih lanjut, sehingga keyakinan agama berdasarkan pada pemahaman secara rasional

            Perkembangan pola kehidupan juga mempengaruhi pemaknaan atas filsafat agama. Pemaknaan filsafat agama dalam paradigma kontemporer lebih condong ke arah fungsional agama. Agama tidak lagi digali makna definitifnya, akan tetapi lebih menekankan pada tinjauan secara kritis untuk menghadapi dinamika kehidupan. Filsafat agama diharapkan “membumi”, menjadi jalan untuk mencari solusi-solusi permasalahan praktis di masyarakat. Hal ini berbeda dengan “masa kegelapan” atau the dark age, filsafat dan agama yang saling mencari perhatian, dengan memonopoli pengaruh di tengah kehidupan. Saat ini agama diharapkan mampu menjadi jembatan kegelisahan menghadapi perkembangan dan perubahan kehidupan, bukan malah menjadi jurang pemisah

            Keberagaman agama menjadi salah satu problem yang coba dipecahkan oleh filsafat agama. Keberagaman agama tidak menjadi problem yang serius apabila tidak ada klaim kebenaran dan sumber keselamatan yang diusung oleh masing-masing agama secara dogmatis. Hal ini membuat setiap perdebatan posisi keyakinan agama semakin menarik, apakah agama harus diyakini secara dogmatis atau apakah memungkinkan adanya tafsir baru yang memposisikan seluruh agama adalah sama. Banyak pemikir yang berusaha untuk merumuskan sikap yang tepat dalam menghadapi keberagaman agama

            Terdapat tiga kategori yang menjadi buah dari persinggungan atau pemaknaan keberagaman agama, yaitu eksklusifisme, inklusifisme, dan pluralisme. Tiga tipe tersebut menjadi dasar pola pikir seorang pemeluk agama tertentu dalam upaya memposisikan diri atau melihat pemeluk agama lain

            Eksklusifisme memahami bahwa hanya agama yang dipeluknyalah yang paling benar dan menjadi satu-satunya sumber keselamatan. Eksklusifisme tidak menerima adanya kebenaran dalam ajaran agama yang lain. Pemahaman agama berdasarkan eksklusifisme ekstrim memungkinkan pemeluk agama tertentu melihat pemeluk agama lain sebagai “liyan yang tersesat”. Para eksklusifis ekstrim tidak sungkan untuk mengajak para liyan untuk “berjalan” pada kebenaran yang mereka yakini, bahkan jika perlu menggunakan cara-cara tertentu agar tersadar. Eksklusifis cenderung menutup kesempatan bagi sumber-sumber yang memungkinkan memberikan pemahaman bahwa keberagaman adalah hal yang niscaya. Satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran dan kebaikan bersama adalah dengan cara memeluk satu agama yang sama. Eksklusifisme juga sering disebut dengan istilah konservatisme.

            Berbeda dengan eksklusifisme yang berdasarkan pada pemahaman dogmatis kaku, inklusif mencoba hadir dengan lebih lunak. Inklusifisme adalah pola pikir yang menekankan bahwa agama yang lain merupakan bentuk berbeda dari agama tertentu, yang memuat kebenaran serta bentuk keselamatan yang berbeda. Namun perlu dicermati, bahwa inklusifis tetap memposisikan agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang diajarkan dalam agama yang dianutnya, walaupun termuat dalam bentuk lain agama tertentu

            Di samping eksklusifisme dan inklusifisme terdapat pluralisme yang menengahi dua sudut pandang sebelumnya. Pluralisme memandang setiap agama memuat bentuk kebenaran dan ajarannya masing-masing. Pluralisme menolak klaim kebenaran yang dimonopoli oleh satu agama tertentu. Bagi pluralis, agama adalah sarana manusia sampai pada kebenaran universal yang termuat dalam berbagai bentuk yang berbeda

            Pluralisme agama berangkat dari pluralitas yang menyebabkan persinggungan agama-agama. Pluralisme agama menuntut mutual respect dengan tujuan cita-cita kedamaian dapat tercapai. Mutual respect ini merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi, yakni terdiri atas toleransi, tenggang rasa, lapang dada, dan peran aktif untuk menciptakan situasi kondusif.

            Dalam hal diatas mungkin semua sudah dijelaskan bahwasanya pruralisme merupakan sikap saling menghargai dengan orang lain yang berbeda kepercayaan. Namun bagi saya pruralisme tidak cukup disana saja, tetapi pruralisme terhadap sesama beragama harusnya juga diterapkan, karena saya pernah melihat, ada seseorang yang mengakui dirinya seorang pruralis sejati bahkan ikut komunitas pruralisme. Namun dilain sisi ia sangat membenci seseorang yang mengikuti organisasi yang tidak sehaluan dengan organisasi yang ia ikuti, padahal sesama organisasi yang seagama. Hal inilah yang membuat saya berpendapat bahwasanya pruralisme tidak hanya untuk yang berbeda agama, akan tetapi yang sesame agama juga.

Sumber :

Saraswati, Destriana. "Pluralisme Agama Menurut Karen Armstrong." Jurnal Filsafat 23.3 (2013): 186-198.



Comments


EmoticonEmoticon