Apakah Kampus Hijau Tercinta Kita Sudah Bebas Dari Kekerasan Seksual? - LPM BHANU TIRTA

Friday 1 December 2023

Apakah Kampus Hijau Tercinta Kita Sudah Bebas Dari Kekerasan Seksual?



(Gambar Ilustrasi : Zainal Arifin / Lpm Bhanu Tirta)

Persma Bhanu Tirta - Menjawab pertanyaan, “Apakah kampus hijau tercinta kita sudah terbebas dari kekerasan seksual?” tentu belum mampu kita jawab secara saksama, sebab sebagian besar dari kita (Mahasiswa atau Dosen) belum mengetahui secara jelas apa yang dimaksud ‘Kekerasan Seksual’ (KS) menurut aturan yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek (2021) maupun Kemenag (2022).

Sedangkan, kasus (KS) pada lingkungan pendidikan khususnya Perguruan Tinggi sedang memasuki kondisi yang darurat. Dalam catatan terbaru Komnas Perempuan (2022), Kekerasan Seksual secara total berjumlah 4.660 kasus. Dari data tersebut, kampus menempati posisi puncak dengan 27% laporan.

Data tersebut tentu saja adalah data gunung es, sebab hanya mendata yang melapor. Laporan WHO (2022) menyebutkan, bahwa 9 dari 10 korban kekerasan seksual tidak melapor. Artinya, jika laporan WHO dipakai dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual boleh jadi sepuluh kali lipat dari laporan yang ada.

Selanjutnya, “Bagaimana dengan kampus hijau tercinta kita? Apakah sudah menjadi ruang aman bagi para penghuninya?” Tampaknya kita perlu mengenal bentuk-bentuk Pelecehan dan Kekerasan Seksual pada konteks kampus, demi terciptanya ruang aman bagi publik kampus hijau tercinta.

Apa Saja Bentuk Kekerasan Seksual?

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.73 Tahun 2022 secara tegas mencantumkan bentuk-bentuk konkret pelecehan dan kekerasan seksual yang dapat diidentifikasi dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam Pasal 5 ayat (2) peraturan tersebut, bentuk-bentuk tersebut diuraikan secara rinci sebagai bentuk penegasan dan penindakan terhadap pelanggaran di bidang ini.

Salah satu bentuk pelecehan adalah melalui ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau gender korban. Ini mencakup segala bentuk komentar atau penghinaan yang menargetkan karakteristik fisik atau identitas gender seseorang. Demikian juga, penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban dianggap sebagai bentuk pelecehan.

Contoh lain mengenai pelecehan secara verbal bisa berbentuk lelucon, rayuan, atau ucapan yang bernuansa seksual. Secara langsung maupun online/daring.

Selanjutnya, peraturan ini mengatasi pelecehan melalui tindakan fisik, seperti membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual. Poin ini mencakup berbagai cara penekanan atau manipulasi yang dapat mengarah pada tindakan seksual yang tidak diinginkan.

Dalam dunia digital, aspek kekerasan seksual pun diakomodasi, termasuk dalam pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video yang bernuansa seksual kepada korban. Tindakan menyebarkan atau mengambil konten seksual tanpa izin korban juga mencakup perilaku yang dilarang.

Penting untuk dicatat bahwa peraturan ini tidak hanya mencakup aspek fisik atau digital, tetapi juga melibatkan budaya dan praktik kekerasan seksual. Dengan adanya pasal yang merinci tindakan kekerasan seksual, diharapkan upaya penegakan hukum dan pencegahan dapat berjalan lebih efektif dan sesuai dengan konteks kekinian.

Apa Kabar Kampus hijau?

Dalam konteks kampus hijau, rendahnya kesadaran dan apatisnya mahasiswa terhadap isu pelecehan dan kekerasan seksual, sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.73 Tahun 2022, menjadi isu serius yang memerlukan perhatian lebih. Kampus hijau, sebagai lingkungan akademis yang mempromosikan keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan, seharusnya juga menjadi tempat di mana nilai-nilai keadilan dan perlindungan terhadap setiap individu dijunjung tinggi.

Namun, rendahnya kesadaran mahasiswa terhadap isu-isu pelecehan dan kekerasan seksual bisa mencerminkan kurangnya pendidikan dan sosialisasi di lingkungan kampus hijau. Mungkin ada ketidakpahaman terhadap peraturan yang mengatur hal tersebut atau minimnya kegiatan edukasi yang fokus pada kesadaran dan perlindungan terhadap korban.

Ketidakpedulian mahasiswa terhadap isu ini bisa menciptakan lingkungan kampus yang tidak aman, bahkan di tengah upaya menjadikan kampus sebagai tempat yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya inisiatif dari pihak kampus untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa melalui program-program edukasi yang terfokus, menyelenggarakan lokakarya, diskusi, atau kampanye yang membahas isu-isu pelecehan dan kekerasan seksual.

Dengan adanya keterlibatan mahasiswa dan dukungan dari pihak kampus, diharapkan kesadaran terhadap peraturan dan tindakan preventif dapat meningkat, menciptakan kampus hijau yang bukan hanya berfokus pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga pada keberlanjutan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh komunitas kampus.

Bagaimana upaya selanjutnya?

Terkait upaya pencegahan dan penanganan, Kemendikbudristek sudah memberikan solusi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi melalui Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, menegaskan bahwa satuan tuga pecegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS) merupakan garda depan perwujudan kampus merdeka dari kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.

“Satuan Tugas PPKS di perguruan tinggi sebagai garda depan perwujudan kampus yang merdeka dari kekerasan. Saya benar-benar senang sekali saat mendengar bahwa semua perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia sudah membentuk satgas yang sesuai dengan aturan Permen PPKS,” jelas Nadiem pada kegiatan Peningkatan Kapasitas Satgas PPKS di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Region IV di Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (22/08/23).

Apakah di kampus hijau kita sudah memiliki Satgas PPKS?

Sayangnya, di kampus hijau tercinta kita belum memiliki Satgas PPKS. Bulan oktober lalu, pihak kampus memang sempat mengedarkan Surat mengenai pembentukan Panitia Seleksi Satgas PPKS, walaupun hingga tulisan ini terbit belum ada tindak lanjut sama sekali.

Mengapa? Apakah kampus sudah benar-benar aman dari tindak Kekerasan Seksual? Sehingga Satgas PPKS tersebut tidak di tindak lanjuti secara serius, atau pihak kampus sengaja tidak mengedukasi Dosen ataupun Mahasiswa supaya tidak ada yang mengetahui dan akhirnya tidak melapor ‘Demi terjaganya nama baik kampus?’

Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat yang saya dapat dari fim pendek berjudul ‘Demi nama baik kampus’ yang dipublikasikan di laman youtube milik Kemendikbudristek, “Sudah saatnya kita berhenti menutupi kasus. Karena nama baik kampus ditentukan dari caranya menangani kasus dan membantu korban”.

Penulis: Reyda Hafis A.

Editor : M. Khamdan Yuwafi


Comments


EmoticonEmoticon