Oleh : Nanindya Filanti Tiaeni
Editor : M. Khamdan Yuwafi
Pendidikan adalah salah satu hal terpenting dalam menjembatani kemajuan suatu negara dan kehidupan masyarakatnya. Di indonesia sendiri pendidikan disebut sebagai hal mahal dan berharga, bahkan beberapa orang turut berpendapat bahwa latar belakang pendidikan seseorang merupakan penentu utama kesuksesannya, dilihat dari pandangan masyarakat bahwa seseorang yang berpendidikan di bawah SMA atau “hanya setingkat SMA” kebawah sering kali dipandang rendah sebelah mata dan dikaitkan dengan maasa depan yang sulit dalam hal perekonomian.
Demikian pun seorang sarjana, pertanyaan yang bermunculan adalah “ jadi sarjana A bisa apa? Berapa nilai anda? Bertahun-tahun di perguruan tinggi sudah mendapatkan apa?”. Bukankahh pertanyaan-pertanyaan tersebut terlalu mengintimidasi seseorang? menurut saya iya. Haruskah seseorang dinilai dari sudut pandang yang demikian? Sedangkan masih banyak hal lain yang bisa menjadi nilai lebih pada diri seseorang.
Baca Juga : 6 Cara Meningkatkan Imajinasi Bagi Seorang Penulis
Kemudian tentang sistem pendidikan yang berlaku di indonesia,dilihat dari sejarah penerapan kurikulum yang berubah-ubah seiring berjalannya perkembangan pendidikan di indonesia bahkan telah mengalami 11 kali perubahan sepanjang ini.
Menurut saya terlalu banyak “uji coba” sehingga bukan hanya siswa tetapi juga orang tua dan tenaga guru juga harus selalu mengikuti perubahan yang berlaku, sedikit merepotkan apalagi untuk menerapkan sesuatu yang baru tidaklah mudah. Hal ini tentu saja juga menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan apalagi oleh beberapa instansi pendidikan yang lebih mementingkan metode penyampaian yang digunakan dalam pembelajaran dan yang menyakini kekonsistenan terhadap kurikulum dan metode pendidikan didalamnya untuk menolak dan lebih memilih prinsipnya daripada mengurangi kualitas lulusannya.
Contoh nyatanya adalah pondok pesantren, pada kasus beberapa pondok pesantren yang memilih menerapkan kurikulumnya yang sedikit berbeda dengan kurikulum yang berlaku di pemerintah seperti jurusan. Jurusan IPA,IPS, Agama dan sebagainya yang tidak diberlakukan menjadikan alumni pesantren sedikit berbeda dengan lulusan sekolah pada umumnya dan bahkan ada yang memandang aneh ketika seseorang tidak memiliki latar belakang jurusan ketika SMA. Bukankah hal tersebut juga bisa mnejelma sebagai bentuk deskriminasi terhadap seseorang?. Pada beberapa perguruan tinggi bahkan menolak dengan teranng-terangan beberapa pendaftar berlatar belakang pesantren dengan alasan ijazah yang tidak sama dengan instansi pada umumnya.
Lantas dimana kesalahan ijazah tersebut? Apakah bentuk ijazah dan nilai yang tertera menjadi tolak ukur minat dan kemampuan seseorang dinilai untuk layak masuk ke fakultas tertentu? Kenapa tidak lebih mempertimbangkan minat dan keseriusan pendaftar ketika tes maupun wawancara daripada latar belakang almamater dan pendidikannya? Sekali lagi saya tegaskan bahwa yang dibahas disini adalah dimana bentuk kesetaraaan dinilai? Tentu ada sebagian pesantren yang telah diakui dan disetarakan dengan jenjangnya, lantas bagaimana tentang pesantren-pesantren lain yang belum mendapat kesetaraan secara sah? Apakah alumninya juga tidak berhak mendapat hak nya secara langsung?.
Baca Juga : Puisi Aesthetic Tentang Gagal
Menurut saya tidak heran pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat menjad faktor penurun minat seseorang terhadap perguruan tinggi dan kemudian memaksa mereka untuk lebih memilih program studi yang sesuai dengan latar belakang asal mereka yang kemudian hari menjadikan mereka berpikir salah jurusan dan bahkan beberapa tidak melanjutkan studinya. Selain daripada hal ini, faktor lainnya adalah persoalan biaya. Pada tahun 2010 disebutkan sebanyak 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah dan didominasi oleh persoalan biaya, ketidakmampuan dalam hal ekonomi menjadikan pendidikan terasa mahal dan menakutkan bagi masyarakat miskin.
Jika pada usia iini saja anak-anak terancam putus sekolah lantas bagaimana tentang masa depan negara dan bangsanya 10-20 tahun kedepan?. Pada masani pemerintah memang sudah melakukan upaya untuk menanggulangi masalah ini, namun sudahkah efektif? Adanya beasiswa pada jenjang pendidikan wajib 12 tahun dan perguruan tinggi sangat membantu namun dengan jumlahnya yang terbatas dan banyaknya jumlah orang yang membutuhkan menjadikan ketidakadilan dalam memperoleh hak pendidikan.
Dibandingkan dengan negara lain yang lebih menjunjung tinggi pendidikan dan menyediakan banyak beasiswa dan tunjangan bagi orang yang berniat belajar sekalipun bangsa asing, menurut saya hal itu juga menjadi faktor pendorong banyaknya pemuda- pemudi indonesia memilih melanjutkan studinya diluar negeri padahal didalam negeri sendiri kualitas pendidikannya tidak kalah dengan disana.
Ketidakpuasan terhadap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dan kenyataan lapangan membuat saya menuliskan pemikiran ini, maka akan lebih baik jika kita sebagai pembaca dapat lebih menjadi bersyukur dan mengintrospeksi diri kembali, bukan hanya dari sudut pandang “apa saja yang sudah saya dapatkan dari pemerintah hingga saat ini” namun juga “ kontribusi seperti apakah yang bisa saya berikan terhadap negeri ini untuk menjadi lebih baik dimasa mendatang” juga agar kita menjadi lebih terbuka pemikiran terhadap masalah-masalah disekitar kita tentang pendidikan dan keadaan negeri ini.
Baca Juga : Kesendirian Dalam Kehidupan